Senin, 02 November 2009

AKSIOLOGI

Oleh : Anang Suprianto (MTK PPs-UNSRI 2009)

Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya Aksiologi berasal dari kata Yunani axion (nilai) dan logos (teori) yang berarti teori tentang nilai. Pertanyaan di wilayah ini menyangkut antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan professional? (filsafat etika).
Aksiologi Ilmu
Rasa keingin tahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesa awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkunga
Kemudian dirumuskanlah sebuah teori pengetahuan dimana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir sebuah konsep yang dinamakan ilmu. Pengembangan ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain. Pemuasan dahaga manusia terhadap rasa keingintahuannya seolah tak berujung dan menjebak manusia ke lembah kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Karena kenetralan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya diperlukan adanya nilai-nilai moral.
Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Satu contoh ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftn1
II Pembahasan
A. Pengertian Aksiologi dan Ilmu
1. Definisi Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftn2dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
2. Definisi Ilmu
Ilmu adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu scientia yang berarti ilmu. Atau dalam kaidah bahasa Arab berasal dari kata ‘ilm yang berarti pengetahuan. Ilmu atau sains adalah pengakajian sejumlah penrnyataan-pernyataan yang terbukti dengan fakta-fakta dan ditinjau yang disusun secara sitematis dan terbentuk menjadi hukun-hukum umum.
B. Perbedaan dan Fungsi Ilmu
1. Perbedan Ilmu, dan Pseudo Ilmuhttp://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftn3
Dari definisi diatas setidaknya kita bisa menarik satu kesimpulan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis, dapat diterima oleh akal melalui pembuktian-pembuktian empiris.
Disisi lain ada sebuah kategori yaitu Pseudo Ilmu. Secara garis besar pseudo ilmu adalah pengetahuan atau praktek-praktek metodologis yang di klaim sebagai pengetahuan. Namun berbeda dengan ilmu, pseudo ilmu tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang di
Keberadaaan ilmu timbul karena adanya penelitian-penelitian pada objek- objek yang sifatnya empiris. Berbeda halnya dengan pseudo ilmu yang lahir atau timbul dari pentelaahan objek-objek yang abstrak. Landasan dasar yang dipakai dalam pseudo ilmu adalah keyakinan atau kepercayaan.
Perbedaan keduanya dapat kita ketahui dari penampakan yang menjadi objek penelitian masing-masing bidang. Atau dengan kata lain perbedaan tersebut ada pada sisi epistmologinya.
2. Fungsi Ilmu
Sebelumnya kita telah berbicara mengenai bagaimana perbedaan ilmu dan pseudo ilmu dilihat dari karakter objek penelitiannya. Berikutnya kita akan membicarakan apa sebenarnya fungsi dan kegunaan pegetahuan. Argumen-argumen yang dikemukakan dalam pengetahuan kemudian menjadi satu bentuk konsep yang terangkum dalam sebuah teori.
Menurut Ahmad Tafsir,http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftn4 teori mempunyai tiga fungsi dilihat dari kegunaan teori tersebut dalam menyelesaikan masalah.
Pertama, Teori sebagai alat Eksplanasi. Dalam fungsi ini teori berusaha menjelaskan melalui gejala-gejala yang timbul dalam satu permasalahan. Misalnya: tragedi 11 september yang memakan banyak korban dan kerugian secara materiil. Hal ini dipahami sebagai bentuk perlawanan terhadap keangkuhan sebuah negara Adi Kuasa. Gejalanya dapat kita lihat dari maraknya beberapa kelompok yang menamakan dirinya sebagai kelompok anti Amerika. Al-Qaeda misalnya, sebuah oraganisasi rahasia yang menjadi symbol perlawanan terhadap Amerika.
Kedua, Teori sebagai alat Peramal. Dalam fungsi ini teori memberikan benuk prediksi-prediksi yang dilakukan oleh para ilmuwan dalan menyelesaikan suatu masalah. Misalnya: isu global warming. Digambarkan dalam kasus ini bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata disatu sisi memberikan dampak buruk terhadap ekosistem alam. Prediksi yang dilakukan oleh para ilmuwan yang menggambakan tentang keseimbangan alam yang rusak oleh perilaku manusia itu sendiri.
Ketiga, Teori sebagai Alat pengontrol. Dalam fungsi ini ilmuwan selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol terhadap masalah yang terjadi. Kita bisa melihat dari solusi yang ditawarkan oleh para ilmuwan.
C. Teori tentang Nilai
1. Kebebasan Nilai dan Keterikatan Nilai
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai?http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftn5
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
2. Jenis-jenis Nilai
Berikut adalah jenis-jenis nilai yang di kategorikan pada perubahannya:http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftn6
Jenis-jenis Nilai
Baik dan Buruk
Sarana dan Tujuan
Penampakan dan Real
Subjektif dan Objektif
Murni dan Campuran
Aktual dan Potensial

3. Hakikat Nilai
Berikut adalah beberapa contoh dari hakikat nilai dilihat dari anggapan atau pendapatnya:
a. Nilai berasal dari kehendak, Voluntarisme.
b. Nilai berasal dari kesenangan, Hedonisme
c. Nilai berasal dari kepentingan.
d. Nilai berasal dari hal yang lebih disukai (preference).
e. Nilai berasal dari kehendak rasio murni.
4. Kriteria Nilai
Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis dan logis.
a. Kaum hedonist menemukan standar nilai dalam kuantitas kesenangan yang dijabarkan oleh individu atau masyarakat.
b. Kaum idealis mengakui sistem objektif norma rasional sebagai kriteria.
c. Kaum naturalis menemukan ketahanan biologis sebagai tolok ukur.
5. Status Metafisik Nilai
a. Subjektivisme adalah nilai semata-mata tergantung pengalaman manusia.
b. Objektivisme logis adalah nilai merupakan hakikat logis atau subsistensi, bebas dari keberadaannya yang dikenal.
c. Objektivisme metafisik adalah nilai merupakan sesuatu yang ideal bersifat integral, objektif, dan komponen aktif dari kenyataan metafisik. (mis: theisme).
6. Karakteristik Nilai
a. Bersifat abstrak; merupakan kualitas
b. Inheren pada objek
c. Bipolaritas yaiatu baik/buruk, indah/jelek, benar/salah.
d. Bersifat hirarkhis; Nilai kesenangan, nilai vital, nilai kerohanian, nilai kekudusan.
III Penutup
Aksiologi memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma nilai.


DAFTAR PUSTAKA
http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftnref1Jujun S Suriasumantri, filsafat ilmu, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 2003). 233.
http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftnref2Nor Hasidah Abu Bakar, e Bahan Pengajaran IPK 503, (Kuala Lumpur Pusat Pemikiran dan Kefahaman Islam, Unit ICT dan e Penerbitan, tt).
http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftnref3Aulia Ridwan CS, “ilmu dan mistik sebagai pseudo ilmu”, (Makalah, PPs IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 207), bb.
http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftnref4Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, (Bandung:Rosdakarya, 2006). 37-41.
http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftnref5Ibid, 45.
http://adikke3ku.wordpress.com/2008/05/19/aksiologi-ilmu/ - _ftnref6Bahm, Archie, J., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of Values”, (Albuquerqe, New Mexico: World Books, 1984), 51.

EPISTEMOLOGI

Oleh : Anang Suprianto (MTK-PPs UNSRI 2009)

A. Definisi
Definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia

B. Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1.Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a. Makna leksikal ilmu adalah sama dengan penginderaan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b. Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c. Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d. Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
e. Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f. Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g. Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
h. Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
i. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.
1. Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.
2. Epistemologi di Zaman Yunani Kuno
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.
Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi), dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.
Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3. Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada“.
4.Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah “universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular” yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh “manusia universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran: 1. Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato), 2. Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles), 3. Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat kata-kata semata.
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.
Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas” memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu sebagai “konsep-konsep”.
Kesimpulan
Filsafat pengetahuan merupakan suatu ilmu yang sangat urgen diketahui dan dipahami oleh peminat ilmu-ilmu univerasal, apatah lagi ia berguna untuk melacak kebenaran suatu mazhab dan ideologi, misalnya sophisme, skeptisisme, rasionalisme, empirisisme, peripatetisme, iluminasi, hikmah muta’aliyah, materialisme, eksistensialisme, humanisme, dan agama-agama. Untuk itu, mari kita bersama mengkaji aliran-aliran epistemologi yang ada dan memperdalam pengetahuan kita terhadap epistemologi yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam kontemporer, seperti Allamah Thaba-tahabai, syahid Sadr, Syahid Muthahari, Hairi Yazdi, dan lainnya. Mungkin dengan ini kita bisa memperkukuh keberagaman kita dan tidak terombang ambingkan oleh berbagai isykal dan syubhat yang ditiupkan tentang masalah eksistensi Tuhan, wahyu, kenabian, Maad, dan ajaran-ajaran agama Islam lainnya

ONTOLOGI

Oleh : Anang Suprianto (MTK-PPs UNSRI 2009)
ONTOLOGI
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Thales (624-550 SM), dapat disebut matematikawan pertama yang merumuskan teorema atau proposisi, dimana tradisi ini menjadi lebih jelas setelah dijabarkan oleh Euclid. Landasan matematika sebagai ilmu terapan rupanya sudah diletakan oleh Thales sebelum muncul Pythagoras yang membuat bilangan.
Ontologi merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
Naturalisme di dalam seni rupa adalah usaha menampilkan objek realistis dengan penekanan seting alam. Hal ini merupakan pendalaman labih lanjut dari gerakan realisme pada abad 19 sebagai reaksi atas kemapanan romantisme.
Salah satu perupa naturalisme di Amerika adalah William Bliss Baker, yang lukisan pemandangannya dianggap lukisan realis terbaik dari gerakan ini. Salah satu bagian penting dari gerakan naturalis adalah pandangan Darwinisme mengenai hidup dan kerusakan yang telah ditimbulkan manusia terhadap alam.
Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:
•yang-ada(being)
•kenyataan/realitas(reality)
•eksistensi(existence)
•perubahan(change)
•tunggal(one)
•jamak(many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Setelah menikmati masa hidupnya selama sekitar seribu tahun, ontologi boleh dikata memang mengalami perkembangan baru setelah melewati satu periode penampikan. Periode itu yang disebabkan oleh oposisi yang luas terhadap metafisika, terkenal dengan pengumuman "kematian metafisika". Kini kian bisa diterima bahwa ilmu-ilmu alam memiliki skema ontologis. Selain belum dapat sepenuhnya dijustifikasi menurut dasar-dasar empiris murni, skema ontologis itu juga dapat menimbulkan kebingungan teoritis, seperti yang terjadi pada bidang mekanika kuantum yang terus bertengkar soal dualitas gelombang-partikel.
Persoalan baru terus berlanjut seiring dengan kian majunya teori kuantum dan turunannya mengekplorasi hakikat terdalam realitas. Persoalan ontologis terbaru masih berkaitan dengan building-block terkecil yang menyusun seluruh alam semesta seisinya ini. Salah satu usulan mutakhir yang berkaitan dengan subyek ini datang dari teori "Superstring". Inti pandangan Superstring adalah bahwa penyusun dasar semesta ini bukanlah particle-like entity seperti yang diyakini orang sejak hampir 1500 tahun. Penyusun dasar kenyataan kosmos ini adalah semacam senar gitar yang dengan berbagai jenis getarnya memungkinkan munculnya berbagai jenis alam semesta. Dikiaskan secara sangat sederhana, alam semesta ini bukanlah seperti sebuah rumah besar yang tertata dari ribuan bata, bukan seperti benda permanen yang disusun dari tak terhingga dzarrah, tapi lebih mirip seperti sejenis musik yang terdiri dari berbagai macam nada.
Seperti halnya teori Superstring, teori komputasi CA juga mengimplikasikan bahwa penyusun paling dasar dari kenyataan semesta bukanlah particle-like entity. Dalam hal ini, Wolfram memberi sumbangan penting pada "gerakan intelektual" yang menyuarakan pandangan bahwa bentuk-bentuk informasi, dan bukannya materi atau energi, yang lebih merupakan batu penyusun dasar dari seluruh kenyataan. Gerakan intelektual ini mencoba memberi penjelasan baru tentang bagaimana bentuk-bentuk atau pola-pola informasi menciptakan dunia yang kita alami. Selain membangun visi yang lebih kokoh tentang peranan algoritme yang sangat penting di alam semesta ini, gerakan ini juga mencoba mengoreksi padangan klasik Newtonian tentang ruang waktu yang terpisah, kontinu, infinit dan absolut.

SEJARAH MATEMATIKA

Oleh : Anang Suprianto/MTK-PPs Unsri

Secara Geografis
1. Mesopotamia
- Menentukan system bilangan pertama kali
- Menemukan system berat dan ukur
- Tahun 2500 SM system desimal tidak lagi digunakan dan lidi diganti oleh notasi berbentuk baji

2. Babilonia
- Menggunakan sitem desimal dan π=3,125
- Penemu kalkulator pertama kali
- Mengenal geometri sebagai basis perhitungan astronomi
- Menggunakan pendekatan untuk akar kuadrat
- Geometrinya bersifat aljabaris
- Aritmatika tumbuh dan berkembang baik menjadi aljabar retoris yang berkembang
- Sudah mengenal teorema Pythagoras

3. Mesir Kuno
- Sudah mengenal rumus untuk menghitung luas dan isi
- Mengenal system bilangan dan symbol pada tahun 3100 SM
-Mengenal tripel Pythagoras
- Sitem angka bercorak aditif dan aritmatika
- Tahun 300 SM menggunakan system bilangan berbasis 10

4. Yunani Kuno
- Pythagoras membuktikan teorema Pythagoras secara matematis (terbaik)
- Pencetus awal konsep[ nol adalah Al Khwarizmi
- Archimedes mencetuskan nama parabola, yang artinya bagian sudut kanan kerucut
- Hipassus penemu bilangan irrasional
- Diophantus penemu aritmatika (pembahasan teori-teori bilangan yang isinya merupakan pengembangan aljabar yang dilakukan dengan membuat sebuah persamaan)
- Archimedes membuat geometri bidang datar
- Mengenal bilangan prima

5. India
- Brahmagyupta lahir pada 598-660 Ad
- Aryabtha (4018 SM) menemukan hubungan keliling sebuah lingkaran
- Memperkenalkan pemakaian nol dan desimal
- Brahmagyupta menemukan bilangan negatif
- Rumus a2+b2+c2 telah ada pada “Sulbasutra”
- Geometrinya sudah mengenal tripel Pythagoras,teorema Pythagoras,transformasi dan segitiga pascal


6. China
- Mengenal sifat-sifat segitiga siku-siku tahun 3000 SM
- Mengembangkan angka negatif, bilangan desimal, system desimal, system biner, aljabar, geometri, trigonometri dan kalkulus
- Telah menemukan metode untuk memecahkan beberapa jenis persamaan yaitu persamaan kuadrat, kubikdan qualitik
- Aljabarnya menggunakan system horner untuk menyelesaikan persamaan kuadrat


Berdasarkan Tokoh

1. Thales (624-550 SM)
Dapat disebut matematikawan pertama yang merumuskan teorema atau proposisi, dimana tradisi ini menjadi lebih jelas setelah dijabarkan oleh Euclid. Landasan matematika sebagai ilmu terapan rupanya sudah diletakan oleh Thales sebelum muncul Pythagoras yang membuat bilangan.

2. Pythagoras (582-496 SM)
Pythagoras adalah orang yang pertama kali mencetuskan aksioma-aksioma, postulat-postulat yang perlu dijabarkan ter lebih dahulu dalam mengembangkan geometri. Pythagoras bukan orang yang menemukan suatu teorema Pythagoras namun dia berhasil membuat pembuktian 2 sebagai bilanganmatematis. Persaudaraan Pythagoras menemukan irrasional.

3. Socrates (427-347 SM)
Ia merupakan seorang filosofi besar dari Yunani. Dia juga menjadi pencipta ajaran serba cita, karena itu filosofinya dinamakan idealisme. Ajarannya lahir karena pergaulannya dengan kaum sofis. Plato merupakan ahli piker pertama yang menerima paham adanya alam bukan benda.

4. Ecluides (325-265 SM)
Euklides disebut sebagai “Bapak Geometri” karena menemuka teori bilangan dan geometri. Subyek-subyek yang dibahas adalah bentuk-bentuk, teorema Pythagoras, persamaan dalam aljabar, lingkaran, tangen,geometri ruang, teori proporsi dan lain-lain. Alat-alat temuan Eukluides antara lain mistar dan jangka.

5. Archimedes (287-212 SM)
Dia mengaplikasikan prinsip fisika dan matematika. Dan juga menemukan perhitungan π (pi) dalam menghitung luas lingkaran. Ia adalah ahli matematika terbesar sepanjang zaman dan di zaman kuno. Tiga kaaarya Archimedes membahas geometri bidang datar, yaitu pengukuran lingkaran, kuadratur dari parabola dan spiral.

6. Appolonius (262-190 SM)
Konsepnya mengenai parabola, hiperbola, dan elips banyak memberi sumbangan bagi astronomi modern. Ia merupakan seorang matematikawan tang ahli dalam geometri. Teorema Appolonius menghubungkan beberapa unsur dalam segitiga.
7. Diophantus (250-200 SM)
Ia merupakan “Bapak Aljabar” bagi Babilonia yang mengembangkan konsep-konsep aljabar Babilonia. Seorang matematikawan Yunani yang bermukim di Iskandaria. Karya besar Diophantus berupa buku aritmatika, buku karangan pertama tentang system aljabar. Bagian yang terpelihara dari aritmatika Diophantus berisi pemecahan kira-kira 130 soal yang menghasilkan persamaan-persamaan tingkat pertama.
Oleh : Anang Suprianto (MTK-PPs UNSRI-2009)

FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

I. Ayat-ayat tentang ilmu.
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan bukti-bukti mengenai hal keutamaan ilmu pengetahuan. Diantaranya.
1. Surat Ali ‘Imran Ayat 18
Artinya : “Allah sudah menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Dia sendiri, juga malaikat dan orang-orang yang berilmu pengetahuan menyaksikan yang sedemikian itu, bahkan Allah itu Maha Berdiri Sendiri dengan adil”.
2. Surat Mujadalah Ayat 11
Artinya : “Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat”.
3. Surat Zumar Ayat 9
Artinya : Katakanlah : “Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan”.
4. Surat Fathir Ayat 28
Artinya : “Hanyasanya yang takut kepada Allah dari golongan hamba-hambaNya itu adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan”
5. Surat Nisa’ Ayat 83
Artinya : “Andaikata mereka mengembalikan berita itu kepada Rasul, juga kepada orang-orang yang memegang pemerintahan, pastilah berita itu sudah dimengerti kenyataannya oleh orang-orang yang benar-benar meneliti hal yang sedemikian tadi dari golongan mereka itu sendiri”.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan keutamaan belajar itu, diantaranya ialah firman Allah Ta’ala.
6. Surat Taubat Ayat 112
Artinya : “Mengapa tidak ada sekelompok pun dari setiap golongan mereka itu yang berangkat untuk mencari pengertian dalam ilmu keagamaan”.
7. Surat Nahl Ayat 43
Artinya : Maka tanyalah para ahli ilmu pengetahuan, apabila kamu semua tidak mengerti”.
Ayat-ayat yang bersangkutan dengan keutamaan mengajar itu ialah firman Allah ‘azza wa jalla.
8. Surat Taubah Ayat 122
Artinya : “Hendaklah mereka itu memberi peringatan kepada kaumnya (setelah belajar ilmu keagamaan), yakni diwaktu mereka telah kembali ke tempat kaumnya tadi. Barangkali kaumnya itu menjadi hati-hati karenanya”.
9. Surat Al ‘Imran Ayat 187
Artinya : “Dan diwaktu Allah telah mengambil janji orang-orang yang diberi kitab suci, yaitu : Haruslah kamu semua menerang-nerangkan itu kepada seluruh manusia dan jangan kamu menyimpan-nyimpan isinya”.
10. Surat Baqarah Ayat 146
Artinya : “Ada sebagian golongan dari mereka yang menyembunyikan kebenaran, padahal mereka itu mengetahuinya”.

II. Definisi Filsafat
1. Plato (427 SM – 347 SM) seorang filosuf Yunani yang termasyur murid Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan : Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).
2. Aristoteles (384 SM – 322 SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorikan, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3. Marcus Tullius Cicero (106 SM – 43 SM) politikus dan ahli pidato Romawi, merumuskan : Filsafat adalah pengetahuan tentag sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
4. Al-Farabi (wafat 950 M), filosuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat sebenarnya.
5. Immanuel Kant (1724 – 1804 SM), yang sering disebut raksasa piker Barat, mengatakan : Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
- Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)
- Apakah yang boleh kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
- Sampai dimanakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)
6. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar Psikologi UI, menyimpulkan : Filsafat adalah suatu ikhtisar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu hal hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
7. Drs. H. Hasbullah Bakry merumuskan, Ilmu filsafat adalah ilmu yag menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
8. Konsep Prancis Bacon, filsafat merupakan induk agung dari ilmu-ilmu dan filsafat menangani semua pengetahuan sebagai bidangnya.
9. Konsep John Dewey, sebagai tokoh pragmatism, berpendapat bahwa filsafat haruslah dipandang sebagai suatu pengungkapan mengenai perjuangan manusia secara terus-menerus dalam upaya melakukan penyesuaian berbagai tradisi yang membentuk budi manusia terhadap kecenderungan-kecenderungan ilmiah dan cita-cita politik yang baru dan tidak sejalan dengan wewenang yang diakui. Tegasnya filsafat sebagai suatu alat untuk membuat penyesuaian-penyesuaian di antara yang lama dan yang baru dalam suatu kebudayaan.
10. Konsep Rene Descartes, Filsafat merupakan kumpulan segala pengetahuan, dimana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok penyelidikannya.

III. Definisi Ilmu
1. Mohammad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum sebab-akibat dalam suatu golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya (apabila dilihat dari luar), maupun menurut hubungannya (jika dilihat dari dalam).
2. Harsojo, Guru Besar Antropologi, Universitas Pajajaran, definisi ilmu dapat dimaknai sebagai akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan ---Suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris.Ilmu dapat diamati panca indera manusia --- Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada para ahlinya untuk menyatakan -suatu proposisi dalam bentuk: "jika,...maka..."
3. Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak.
4. Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
5. Ashley Montagu, Guru Besar Antropolog di Rutgers University menyimpilkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
6. Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan penalaran praktis.
7. Prof. Dr. C.A. Van Peursen, mengatakan definisi ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.


DAFTAR PUSTAKA
Alghazali, Ihya Ulumuddin Imam. 1994. Bimbingan untuk Mencapai Tingkat Mu’min. Bandung: Penerbit CV Diponegoro.
Bakhtiar, Amsal. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Penerbit Raja Grasindo Persada.
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. 1997. Filsafat Ilmu. Bandung: Penerbit Pustaka Setia.